harianfikiransumut.com / Jakarta - Menindaklanjuti kasus pemukulan secara brutal oleh oknum Brimob terhadap seorang wartawan di Lubuklinggau,
Adhio Septiawan atau Vhio, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A, meminta klarifikasi Kapolres Lubuklinggau, Kamis (2/2/23).
Dari hasil percakapan antara Ketum PPWI dengan Kapolres, AKBP Harissandi, muncul dugaan kuat bahwa pihak Polres Lubuklinggau akan menggiring korban Vhio menjadi tersangka.
Hal tersebut dapat disimpulkan dari keterangan Harissandi yang ragu-ragu menindak oknum Brimob yang telah melakukan pemukulan terhadap wartawan karena ada dua laporan yang masuk.
Saat dikonfirmasi Ketum PPWI, Kapolres mengatakan pemeriksaan sedang berjalan, sementara korban masih dirawat di rumah sakit.
"Pemeriksaan masih berjalan, cuma korbannya masih belum bisa diperiksa karena masih dalam perawatan di rumah sakit. Untuk kasus ini, kedua belah pihak saling melapor," ujar Kapolres.
Saat mendengar bahwa kedua belah pihak saling melapor, hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi Tokoh Pers Nasional tersebut.
Akan dibawa kemana arah kasus tersebut? "Sudah jelas-jelas itu kasus pemukulan dan penganiayaan berat, oknum Brimob tersebut mau melaporkan apa?" tanya Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 tersebut kepada Kapolres.
Wilson melanjutkan, "Jadi, kalau saling melaporkan berarti damai gitu? Bagaimana sih pihak aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian menangani masalah pemukulan dan penganiayaan? Seharusnya diproses dulu laporan yang awal."
Selanjutnya, Kapolres pun menjelaskan kronologi kejadiannya. "Sekira pukul 03.00 WIB pagi, Selasa (31/1/23), ada seseorang yang mendokumentasikan rumah milik warga Lubuklinggau.
Mengetahui rumahnya difoto dan divideokan, lalu pemilik rumah mengusir orang tersebut (Vhio) dengan alasan ketakutan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," papar Kapolres.
Kemudian pemilik rumah menelpon saudaranya yang berprofesi sebagai Brimob. Dan Brimob tersebut, demikian Harissandi, langsung mendatangi Vhio, lalu menanyakan secara baik-baik.
Namun Vhio bersikeras bahwa ia sedang menjalankan tugas sebagai jurnalis. Tapi pihak Brimob tetap mencurigai Vhio, dan keduanya saling adu mulut yang berakhir pemukulan yang dilakukan oknum Brimob tersebut.
Selanjutnya, kata Kapolres Vhio langsung dibawa ke Mapolres Lubuklinggau, tapi tanpa menyebutkan bahwa Vhio diborgol saat dibawa ke Polres.
Sementara korban menyebutkan dia diborgol dan diseret masuk dalam mobil seperti teroris. Dalam keterangannya, Kapolres juga menuduh Vhio dalam keadaan habis mengkonsumsi miras.
Lalu pihak Polres Lubuklinggau melakukan pemeriksaan dan visum terhadap korban.
“Untuk pemeriksaan ditangguhkan karena saudara Vhio harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Kita masih menunggu korban sehat baru diambil keterangan," jelas Kapolres.
Atas keterangan Kapolres tersebut, Wilson Lalengke membantah keterangan terkait waktu kejadian. “Dari keterangan Pak Kapolres saya sampaikan bahwa pertama, Pak Kapolres keliru soal waktu kejadian, bukan jam 3 pagi, tapi jam 01.30 wib. Ini sesuai keterangan korban dan pemilik rumah,” sergah alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu yang meyakini jika keterangan Kapolres hanya karangannya belaka, bukan fakta.
Wilson kemudian melanjutkan bahwa wartawan dapat melakukan tugasnya setiap saat, tidak terikat oleh waktu, kapan saja wartawan dapat melakukan tugasnya. "Kedua, seorang wartawan dapat melaksanakan tugasnya di jam berapa saja jika dia melihat hal yang mencurigakan," kata Lulusan Pasca Sarjana di tiga universitas bergengsi di Eropa ini.
Ketiga, tambah Wilson Lalengke, hal yang paling parah yang harus dipertegas adalah pemukulan yang dilakukan oknum Brimob tersebut. Apakah boleh anggota polisi melakukan pemukulan terhadap masyarakat? Padahal telah diatur dalam Keputusan Kapolri tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) yang seharusnya dipedomani oleh seluruh anggota kepolisian. “Dalam KEPP itu, tidak ada acara pukul-memukul yang boleh dilakukan setiap anggota Polri terhadap siapapun!” tegasnya.
Menurut Wilson, hal-hal seperti itu tidak sepatutnya dilakukan oleh anggota kepolisian yang seharusnya mengayomi, melayani, melindungi, dan menolong rakyat. Namun yang terjadi justru malah melakukan kesewenang-wenangan. "Mempermainkan hukum, mentang-mentang kalian yang memegang hukum, yang punya kewenangan, kalian yang punya meja, yang punya kertas, kalian yang dengan mudah membuat laporan, lantas seenaknya saja kalian mentersangkakan orang. Samboisme itu sudah menjalar kemana-mana,” sebut Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu menyitir kasus rekayasa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat yang diotaki mantan Kadivpropam Polri, Ferdy Sambo, yang sedang disidangkan saat ini.
Dari keterangan Kapolres, imbuh Wilson Lalengke, modus rekayasa kasus pemukulan wartawan Vhio adalah dengan meminta pemilik rumah yang didokumentasikan oleh korban untuk membuat laporan tandingan. Hal itu menurutnya sangat licik, kasus direkayasa sedemikian rupa dengan menyuruh pemilik rumah membuat laporan, sehingga terkesan ada peristiwa saling lapor.
“Laporan tersebut dibuat untuk merekayasa kasus seakan wartawan tersebut melakukan kesalahan, mengganggu ketentraman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan lain sebagainya. Semuanya itu adalah tuduhan bias yang tidak bisa dibuktikan, yang tujuannya agar korban tersebut bisa menjadi tersangka," urainya kesal atas langkah culas oknum Kapolres Lubuklinggau itu.
Dalam kasus ini, Wilson Lalengke yang getol memperjuangkan nasib wartawan yang dikriminalisasi berharap kepada pihak Kepolisian untuk bersikap tegas dan segera memproses oknum Brimob yang telah melakukan pemukulan secara brutal terhadap wartawan sesuai peraturan yang berlaku. “Pak Kapolri, tolonglah. Langsung di-Yanma-kan saja orang-orang seperti ini. Apakah tidak ada lagi polisi yang lebih baik di institusi Polri untuk jadi Kapolres. Ini orang sudah babak-belur hinga masuk rumah sakit, masih juga kalian kriminalisasi,” sebut Wilson Lalengke mengakhiri kerengannya. (Alan)